I.
PENDAHULUAN
Bahasa Jawa
sebagai salah satu bahasa daerah, garis pembinaan dan pengembangannya tunduk
pada kebijakan pembinaan dan pengembangan bahasa daerah yang memiliki banyak
kesusastraan seperti yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yakni sebagai
bahasa komunikasi dalam masyarakat yang merupakan wujud perilaku kebahasan yang
dipakai untuk menyampaikan informasi, baik yang berbentuk lisan maupun tulisan.
Sebagai masyarakat jawa pemakai bahasa jawa mempunyai unggah-ungguh yang
diwarisi dari zaman ke zaman. Indonesia terdiridari berbagai macam suku bangsa
yang memiliki keanekaragaman multikultur (adat istiadat, tatacara bahasa,
kesenian, kerajinan, ketrampilan daerah, dan lain-lain) merupakanciri khas yang
memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
keanekaragaman tersebut harus selalu dilestarikan
dan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa indonesia.
II.
RUMUSAN MASALAH
a.
Apa yang
dimaksud Sastra dan Sastra Jawa ?
b.
Apa yang
melatarbelakangi munculnya Sastra Jawa ?
c.
Bagaimana
pertumbuhan dan perkembangan Sastra Jawa?
d.
Apa yang
melatarbelakangi munculnya pewayangan ?
e.
Bagaimana
perkembangan wayang di tanah Jawa?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sastra dan Sastra Jawa
a.
Pengertian
sastra
Sastra
merupakan istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yaitu
meliputi teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Menurut Teeuw, sastra
berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu sas yang berarti ‘mengarahkan,
mengajar, memberi petunjuk/instruksi’, dan akhiran tra yang menunjuk
pada alat, sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku penunjuk,
buku instruksi atau pengajaran. Biasanya kata sastra diberi awalan su menjadi
susastra. Su artinya baik, indah, sehingga susastra berarti pengajaran
atau penunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik
dan indah, atau dengan kata lain, belles-letters yaitu tulisan yang
indah dan sopan.
Karya sastra selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa.
Menurut sejarah, sastra merupakan lukisan atau gambaran rangkaian kehidupan dan
perkembangan karya sastra.
Karya sastra secara keseluruhan terdapat kaitan yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut Darusuprapta (1986), pertalian karya sastra satu dengan yang lainnya
merupakan unsur sendi-sendi kerangka sejarah sastra. Dalam sejarah, sastra
dibahas berdadasarkan periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis,
dan pengarang-pengarang. Sistem penyusunan sejarah sastra tidak pernah lepas
dari teori sastra dan kritik sastra. Sistem tersebut tidak bertahan lama,
karena terjadi perbedaan yang berubah dengan seiring bergantinya zaman, hal itu
dikarenakan sejarah sastra meiliki permasalahan yang bersifat umum dan khusus.
Bersifat umum yakni yang berhubungan dengan penulisan sejarah pada umumnya, dan
yang bersifat khusus adalah karakter yang melekat pada karya sastra yang memang
unik, sehingga perkembangannya tidak tentu konsisten dalam berbagai hal.
Sejarah sastra memiliki fungsi sebagai rekontruksi masa lalu,
sebagai ilmu bantu bagi pemaknaan satra dan berfungsi sebagai catatan pengaruh
karya sastra pada pembaca. Sebagian bahan dasar sastra adalah bahasa. Bahasa
yang digunakan pun bukan bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan
sehari-hari. Hal yang penting dalam bahasa sastra adalah tanda dan simbolisme
suara dari kata-katanya. Sastra berfungsi untuk menghibur sekaligus memberi
pengajaran terhadap manusia.
b.
Pengertian
Sastra Jawa
Sastra Jawa adalah karya seni yang menggunakan Bahasa Jawa sebagai
media.
Perbedaan yang membedakan sastra jawa dengan sastra lainnya hanya terdapat pada
bahasanya saja. bahasa yang digunakan pada sastra Jawa adalah Bahasa Jawa.
Sastra Jawa berdasarkan bahasa dapat dibedakan menjadi empat, yaitu Sastra Jawa
Kuna, Sastra Jawa Tengahan, Sastra Jawa baru, dan Sastra Jawa Modern. Sastra
Jawa berdasarkan kategori dapat dibagi tiga belas, yaitu berdasarkan sejarah,
silsilah, hukum, bab wayang, sastra wayang, sastra, piwulang, islam, primbon,
bahasa, musik, tari-tarian, dan adat istiadat.
B.
LATAR BELAKANG
MUNCULNYA SASTRA JAWA
Karya sastra mulai muncul di era kerajaan hindu budha. Sastra pada
masa ini berkembang di semua kalangan, baik di lingkungan masyarakat umum
maupun di lingkungan istana. Dalam tradisi itu terbentuk kelas–kelas sosial
berupa rakyat jelata dan bangsawan. Dua kaum sosial tersebut masing-masing
mendukung budayanya, yaitu budaya desa dan istana.
Karya sastra yang hidup di daerah pedesaan yang tidak didukung oleh
tradisi tulis menghasilkan sastra lisan.Tradisi lisan yang ada di masyarakat
pedesaan luas penyebarannya karena tidak terikat penciptaan kembali oleh
penyalin.Tradisi ini juga mudah diterima oleh masyarakat tanpa melibatkan
kemampuan tulis-menulis, sehingga tradisi ini dapat melampau batas-batas
budaya.Dengan demikian, tradisi lisan ini dapat dijadikan sumber dan rujukan bagi
penulis istana. Sebaliknya karya sastra yang berkembang dikalangan istana dengan
media bahasa tulis serta terikat oleh penyalin, sehingga tidak mampu dikonsumsi masyarakat umum.
Bukan hanya disebabkan oleh tradisi baca dan tulis yang tidak dikuasai rakyat,
tetapi karya jenis ini milik istana dan lebih banyak diciptakan untuk kepentingan
kerajaan. Menurut konsep Robert Redfield, tradisi tulis yang berkemban di
istana ini disebut dengan tradisi besar atau great traditions, sedangkan tradisi yang ada dikalangan rakyat jelata
sering dinamakan little traditions.
Tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat juga dikenal sebagai
sastra rakyat. Dalam bentuk naratif, sastra rakyat juga dapat berupa pelipurlara,
legenda, mitos, cerita jenaka maupun cerita binatang. Sedangkan dalam bentuk puisi,
tradisi sastra berupa pantun, teka-teki, dan sebagainya. Karya sastra tersebut berkembang
melalui media penyampaian secara keseluruhan melalui pengucapan lisan. Dengan demikian
bentuk sastra lisan itu dapat terus berkembang dan terpelihara sesuai dengan unsur-unsur
keindahan yang ada didalamnya. Hal ini sangat berbeda dengan karya sastra yang
berkembang dikalangan istana sebab dikalangan istana melalui tradisi tulis,
dengan demikian menyebabakan tradisi ini kurangnya ketekunan untuk menghafal dan
ingatan tinggi untuk menyimpannya.
Karya sastra sejarah sering pula dikatakan sebagai genre baru dalam
warisan sasatra Nusantara tradisional. Beberapa ahli menyebutkan bahwa sastra
muncul bersamaan dengan berkembangnya agama islam di Nusantara sekitar abad XIV
dan XV Masehi. Meskipun pernyataan itu sebenarnya tidak sepenuhnya benar,
karena di jawa pada masa Hindu sudah ditulis kitab Praraton yang merupakan karya
sejarah. Namun harus diakui dengan kedatangan islam di Nusantara memberikan andil
besar dalam karya sastra , karena agama Islam telah memperkenalkannya ajaranya melalui karya
sastra yang menjadikan masyarakat Nusantara semangat untuk membaca khazanah keilmuan
Islam. Seperti penentuan waktu di Nusantara berawal dari umat islam dengan kebiasaannya
dalam menentukan waktu sholat sehari-hari selain itu juga pergeseran waktu yang
ditandai dengan bulan-bulan tertentu bagi umat Islam seperti bulan Ramadhan,
Dzulhijjah, Syawal.
C.
PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN SASTRA JAWA
Peran kerajaan Islam sangat berpengaruh dalam perkembangan sastra,
misalnya dengan masuknya para pujangga Jawa yang menjabat sebagai penasehat
kerajaan. Penyebaran Islam diikuti dengan mengalirnya kepustakaan Islam, baik
dalam bentuk huruf Arab maupun yang telah diubah dalam bahasa Melayu. Itu semua
mempengaruhi perkembangan tradisi dan budaya Jawa. Sastra Jawa yang merupakan
paduan antara Hindu-Budha kemudian mendapat masukan dari unsur-unsur Islam yang
melahirkan jenis kepustakaan baru, berisi tentang tradisi kejawen dengan unsur
Islam sehingga sastra Jawa pun menjadi semakin indah, misalnya dengan lahirnya
sastra Jawa berupa serat wirid, serat suluk, babad dan primbon. Serat wirid dan
suluk berisi tentang ajaran tasawuf atau mistik dalam Islam. Babad berisi
tentang cerita-cerita atau kisah dalam Islam, seperti kisah para nabi. Primbon
isinya merangkum berbagai ajaran dalam tradisi Jawa, seperti ngelmu-petung,
ramalan, guna-guna dan lainnya.
Berdirinya kerajaan Jawa Islam Mataram dengan rajanya Sultan Agung
Anyakrakusuma, semakin menyuburkan kepustakaan Islam Kejawen. Sultan Agung
dalam menjalankan pemerintahannya, menjalankan politik islamisasi dengan cara
mempertemukan tradisi Jawa dengan Islam. Para pujangga Jawa juga bersifat
pro-aktif, menerima ajaran Islam dan mengolahnya secara Kejawen.
Setelah Sultan Agung wafat dan digantikan puteranya, perselisihan
dan perpecahan pun terjadi, sehingga mengakibatkan kerajaan Mataram terpecah
menjadi empat. Akibatnya rakyat menjadi sengsara dan tak berdaya menghadapi
kekuasaan kompeni. Namun setelah pusat kerajaan Mataram dipindahkan dari
Kartasura ke Surakarta, membuat kebangkitan rohani dan kesusastraan Jawa, yaitu
dengan lahirnya pujangga-pujangga besar seperti R. Ng. Ranggawarsito Aryo
Mangkunegara IV. Masa itu terkenal sebagai masa kegemilangan sastra Jawa, masa
yang merupakan masa pembaharuan sastra Jawa dari bahasa Jawa kuno ke bahasa
Jawa baru. Karya-karya sastra pada masa itu semuanya bernuansa mistik, misalnya
karya sastra Serat Centhini (ditulis
oleh Yasadipura II, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura) dan Serat wirid Hidaya Jati (karya R. Ng.
Ranggawarsito). Pengaruh ajaran dan unsur-unsur Islam, terutama aspek
tasawufnya, menimbulkan berbagai macam kitab suluk masa kebangkitan
kesusastraan di Surakarta itu.
Paham Kejawen yang punya kesetaraan dengan tasawuf mistik merupakan
realitas masyarakat Jawa yang memiliki akar kuat sehingga senantiasa mempunyai
pengikut dan perkembangannya pun tergantung pada seberapa jauh apresiasi
generasi penerus.
D.
LATAR BELAKANG MUNCULNYA
PEWAYANGAN
Tidak ada bukti akurat mengenai awal munculnya asal – usul dan
perkembangan pewayangan di Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya silang
pendapat antara budayawan dan cendekiawan yang berusaha meneliti asal – usul
perkembangan pewayangan di indonesia. Sejak jaman Indonesia masih terjajah oleh
Belanda sampai sekarang hal tersebut masih dirundingkan dengan serius. Namun
hal tersebut tidak membuat orang melupakan akan kehadiran wayang dalam
kehidupan masyarakat. Di kalangan masyarakat Indonesia khususnya masyrakat
Jawa, wayang sangat akrab di pelbagai era. Hal tersebut dikarenakan wayang
merupakan salah satu buah usaha akal budi Bangsa Indonesia, sehingga
menghasilkan sikap hidup manusia Jawa yang tergambar dalam cerita pewayangan
sebagai hasil cipta kebudayaan dan kesenian yang luar biasa, dari penjelasan
inilah wayang dianggap sebagai ensiklopedia kehidupan manusia Jawa.
Awal mula munculnya wayang di zaman dahulu digunakan untuk memuja
para ruh leluhur. Setelah zaman Kerajaan Kediri dan Singasari , terutama pada
zaman Sri Airlangga dan Jayabaya, ketika di saat itu penyebaran agama Hindu
dari India mulai menyebar dalam kehidupan manusia Jawa. Zaman ini yang
melahirkan kisah Mahabarata dan Ramayana dari negeri India. Kisah tersebut
kemudian dituliskan kedalam kitab yang bertuliskan bahasa Sanskerta. Lambat
laun kedua epos tersebut disalin oleh Raja Dyah Balitung untuk kitab Ramayana,
dan Raja Sri Darmawangsa Teguh untuk kitab Mahabarata.
Kehidupan
di dunia ini dapat dikatakan sebagai perwujudan peperangan antara kedua buah kutub
yang saling bertentangan, yaitu antara kebaikan dan kejahatan, kekacauan dan
ketertiban, benar dan salah, keindahan dan keburukan, dsb. Sama halnya dengan
wayang, wayang diciptakan dalam berbagai lakon cerita yang mengandung
pertentangan dalam diri manusia . dalam pertunjukan lazimnya, wayang dibawakan
dan disampaikan oleh seorang dalang sebagai pelaku cerita tersebut secara
dialog dan gerak perbuatan yang menghidupkan tokoh wayang dan jalan cerita.
E.
PERKEMBANGAN
WAYANG DI TANAH JAWA
Di Indonesia wayang terdapat banyak model, namun untuk wilayah Jawa
yang terkenal adalah wayang kulit purwa. Eksistensi wayang kulit purwa saat ini
masih digemari oleh sebagian masyarakat Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari
perbandingan jumlah peminat yang menikmati pertunjukan wayang dibanding dengan
jenis kesenian yang lainnya. Di samping itu yang menjadi daya tarik pewayangan
adalah keragaman ceritanya yang banyak. Cerita yang ada di dalam pewayangan dapat
menyatukan masyarakat secara menyeluruh. Penyatuan itu meliputi seluruh daerah
geografi Jawa dan semua golongan sosial masyarakat Jawa.
Keberadaan wayang kulit purwa menurut buku Serat Centini dan
Sastramiruda sudah ada sejak zaman Prabu Jayabaya ( pemimpin Kerajaan
Mamenang, tahun 989M), dimana pada zaman itu wayang digambarkan di atas daun
lontar. Pada masa ini wayang berkaitan sangat erat dengan unsur religius,
dimana wayang digunakan sebagai media untuk menyembah para leluhur yang sudah
meninggal.
Selanjutnya, ada perubahan fisik yang terjadi pada wayang kulit
purwa. Hal ini terjadi pada pemerintahan Prabu Suryamiluhur ( pemimpin Kerajaan
Jenggala, tahun 1244M ). Perubahan ini terlihat pada media pembuatan wayang dan
kreasi pada wayang, media yang digunakan adalah kertas jawa (kulit kayu) dan
kreasi pada wayang terdapat penjepit pada sisi – sisi yang terbuat dari kayu,
semua itu dilakukan agar dapat tergulung rapi.
Perkembangan selanjutnya pada masa Raja Brawijaya (pemerintah
Kerajaan Majapahit, tahun 1379M). Pada masa ini terjadi perubahan derastis pada
wayang kulit purwa. Pembuatan wayang kulit purwa terlihat lebih rapi dengan
adanya kreasi seni lukis dengan berbagai warna dan ada tambahan sehelai
pakaian, yang akhirnya wayang ini berubah nama menjadi wayang sunggingan. Selanjutnya perkembangan wayang
lebih disempurnakan oleh Raden Patah ( pemimpin daerah Jawa, Demak tahun 1515M)
untuk alat pembantu penyebaran agama Islam.
Wayang yang awalnya digunakan sebagai barang yang diskralkan dalam
ritual beribadah untuk menghormati leluhur pada masa kejayaan Hindu – Budha,
perlahan beralih fungsi menjadi media dakwah ketika Islam mulai berjaya. Dakwah
menggunakan wayang sering dilakukan oleh para wali yang ada di tanah Jawa dalam
penyebaran agama Islam. Perombakan mulai terjadi, para wali berlomba – lomba
membuat cerita dan lakon-lakon baru yang sesuai dengan falsafah ajaran Islam,
alat-alat gamelan baru sebagai pengiring pergelaran wayang, dan hiasan-hiasan
lainnya agar pertunjukan menjadi semakin menarik perhatian masyarakat, sehingga
perlahan masyarakat menerima ajaran Islam sebagai agama baru mereka. Agar
terlihat sempurna dalam penyampaian dakwah, tekstur wayang purwa dirubah pada
tahun 1520. Wayang dibuat lebih pipih dalam bentuk miring sehingga tidak
menyerupai wayang yang telah ada pada zaman Hindu-Budha.
Bahan yang digunakan dalam pembuatan wayang ada perbedaan dengan sebelumnya.
Pada zaman ini wayang terbuat dari kulit Kerbau yang dihaluskan dan ditatah
kemudian diberi gapit ditegahnya sebagai pegangan sang dalang, dan agar mudah
ditancapkan di pelepah pisang. Perombakan itu tidak terjadi secara frontal, ada
unsur kesamaan pada wayang tersebut. Tangan masih bersatu dalam tubuh wayang
dan pola gambarnya masih diambil dari wayang beber zaman Majapahit.
Berjalannya waktu, penyempurnaan semakin digencarkan. Tokoh yang
memperkasai adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Sunan Giri menciptakan
wayang-wayang jenis raksasa, sedangkan Raden Patah menciptakan gunungan (kayon)
sebagai pembuka cerita, perubahan adegan cerita, dan penutup cerita wayang.
Perkembangan mulai terasa cepat, banyaknya tokoh baru yang bermunculan membuat
wayang semakin terkenal dikalangan masyarakat.
Pada masa kerajaan Mataram, bentuk wayang purwa semakin bertambah
dengan adanya bentuk burung, gajah, dan tatahan wayang yang semakin halus.
Penyempurnaan tidak hanya terjadi pada hal itu saja, namun ada perubahan dalam
bentuk karakter tokoh wayang tertentu dalam suatu kondisi dan keadaan tertentu,
atau yang sering disebut sebagai wanda.
Wayang kulit purwa mendapat tambahan aksen berbeda pada mata di
setiap tokohnya. Penambahan ini dilakukan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma
(1563). Perubahan pada mata ini ditujukan agar dapat membedakan sifat dan
karakter para tokoh dalam pewayangan. Jenis mata dibedakan menjadi beberapa
jenis, yaitu liyepan, thelengan, dondongan, dsb. Perubahan tidak
berhenti sampai sini saja, namun setelah era ini masih terjadi perubahan dalam
wayang. Tahun 1680, Raja Amangkurat (pemimpin Mataram) melakukan penambahan
pada tokoh wayang baru yang dikenal oleh nama Punakawan. Hingga pada massa
Mangkunegara (1850-1860), wayang telah diakui sebagai milik masyarakat Jawa dan
telah menyebar keseluruh tanah Jawa. Keberadaan wayang kulit purwa yang sarat
dengan nilai hidup untuk membangun perwatakan manusia jawa, khususnya agar
menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan budaya Jawa.
Cerita wayang kulit purwa bersumber pada wiracarita (buku induk)
atau babon dari kitab Mahabharatan dan Ramayan dari negeri India. Tidak
hanya bentuk dan karakter tokoh yang berubah namun ceritanyapun ikut berubah. Secara
garis besar, muncul tiga jenis cerita wayang, yakni sebagai berikut :
a.
Cerita baku,
cerita yang asli dari kitab Mahabharata dan Ramayanga tanpa mentimpang dari
asalnya.
b.
Cerita carangan
kadapur, cerita baku dari buku induk yang telah dikembangkan oleh kreativitas
sang dalang.
c.
Cerita
carangan, cerita baru yang dikembangkan oleh kreativitas dalang dengan tidak
melenceng dari alur cerita baku, sehingga cerita tersebut tidak terdapat dalam
buku induk.
Pada
dasarnya, pakem standar cerita wayang purwa dari buku panduan pedalangan memuat
empat siklus utama, yaitu cerita dewa-dewa (kadewan) dalam kisah lakon
purwa carita, siklus Arjuna Sasrabahu dalam kisah Lokapala, siklus Ramayana
dalam kisah Rama, dan siklus Mahabharata dalam lakon pandawa hingga perang Bhataryuda.
Lakon dalam istilah pedhalangan dikenal dalam tiga jenis, yaitu lakon baku,
lakon sempalan, dan lakon carangan. Menurut kriteria pergeleran lakon dibagi
menjadi delapan, yaitu lakon raben atau alap-alapan, lakon lahir, lakon kraman,
lakon wahyu, lakon mistik, lakon tragedi, lakon ruwat, dan lakon
jumenengan.dapat sisimpulkan bahwa kriteria cerita merupakan sumber lakon
sebagai pedoman pelaksanaan teknik wayang yang akan disajikan.
Menurut Prof.K.M.A Machfoel tentang makna pewayangan, yakni Semar,
Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Keempat figur nama-namanya sama
sekali tidak terdapat dalam epos Hindu Ramayana dan Mahabrata sebagai sumber
pewayangan aslinya. Munculnya figur punakawan tersebut merupakan hasil kreasi Wali
Sang Walet tinelon untuk meragakan serta mengabdikan fungsi watak, tugas
konsepsional Walisongo dan para mubaligh islam, sedangkan nama-namanya
merupakan sebutan bahasa kuno, tetapi berasal dari bahasa arab sebagaimana nama
Semar diambil dari bahasa arab yaitu Ismar yang artinya paku, berfungsi
sebagai goyah. Ibarat ajaran islam yang didakwahkan para walisongo diseluruh
kerajaan majapahit, yang pada waktu itu sedang dalam pergolakan dengan
berakhirnya didirikan kerajaan Demak oleh raden patah. Hal senada sesuai dengan
hadits Al-Islamu ismaruddunnya yang berarti islam adalah pengokoh (pku
pengokoh) keselamatan dunia. Naala Qoriin oleh pengucapan lidah jawa
menjadi Nala Gareng yang berarti memperoleh banyak teman, dan tugas
konsepsional para walisongo sebagai juru dakwah (dai) ialah untuk memperoleh
sebanyak-banyaknya kawan untuk kembali ke jalan Tuhan dengan sikap arif dan
harapan yang baik. Fatruk oleh pengucapan lidah jawa menjadi Petruk.
Kata tersebut merupakan kata pangkal kalimat pendek dari sebuah wejangan
tasawuf tinggi yang berbunyi: Fatruk kulla maa siwallahi, yang artinya
tinggalkan semua apapun yang selain Allah. Wejangan tersebut kemudian menjadi
watak pribadi para wali dan mubaligh pada waktu itu. Baghaa oleh
pengucapan lidah jawa menjadi Bagong, yang berarti berontak terhadap
kebathilan atau kemungkaran suatu tindakan antu kesalahan. Dalam versi lain
berasal dari kata Baqa’ (arab) yang berarti kekal, langgeng, artinya
semua makhluk nantinya di akhirat mengalami hidup kekal.
Wayang sebagai titik temu
nilai budaya Jawa dan Islam adalah suatu momentum yang sangat berharga bagi
perkembangan khasanah budaya Jawa. Sebagaiman kalimat Syahadat merupakan
kalimat persaksian yang semula dijadikan Jimat (siji dirumat) kekuatan
spiritual yang kemudian ditradisikan dalam sekatenan. Kalimat Syahadatain,
yakni Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul kemudian ditradisikan dan
disosialisasikan dalam kegiatan grebeg maulud atau grebeg sekatenan yang
diselenggarakan mulai tanggal 1 sampai dengan 12 Maulud, setiap tahunnya.
IV.
KESIMPULAN
Sastra merupakan istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan
bahasan yang luas, yaitu meliputi teori sastra, sejarah sastra, dan kritik
sastra. Karya sastra secara keseluruhan terdapat kaitan yang tidak dapat
dipisahkan. Sejarah sastra memiliki fungsi sebagai rekontruksi masa lalu,
sebagai ilmu bantu bagi pemaknaan satra dan berfungsi sebagai catatan pengaruh
karya sastra pada pembaca. Sebagian bahan dasar sastra adalah bahasa.
Sastra Jawa adalah karya seni yang menggunakan Bahasa Jawa sebagai
media. Perbedaan yang membedakan sastra jawa dengan sastra lainnya hanya
terdapat pada bahasanya saja. bahasa yang digunakan pada sastra Jawa adalah
Bahasa Jawa. Sastra Jawa yang merupakan paduan antara Hindu-Budha kemudian
mendapat masukan dari unsur-unsur Islam yang melahirkan jenis kepustakaan baru,
berisi tentang tradisi kejawen dengan unsur Islam sehingga sastra Jawa pun
menjadi semakin indah.
Awal mula munculnya wayang di zaman dahulu digunakan untuk memuja
para ruh leluhur. Setelah zaman Kerajaan Kediri dan Singasari , terutama pada
zaman Sri Airlangga dan Jayabaya, ketika di saat itu penyebaran agama Hindu
dari India mulai menyebar dalam kehidupan manusia Jawa. Zaman ini yang
melahirkan kisah Mahabarata dan Ramayana dari negeri India. Di Indonesia wayang
terdapat banyak model, namun untuk wilayah Jawa yang terkenal adalah wayang
kulit purwa. Wayang juga sebagai titik temu nilai budaya Jawa dan Islam.
Keberadaan
wayang kulit purwa menurut buku Serat Centini dan Sastramiruda
sudah ada sejak zaman Prabu Jayabaya ( pemimpin Kerajaan Mamenang, tahun 989M).
V. PENUTUP
Demikian makalah
ini kami buat, semoga dapat menambah wacana dan pengetahuan kita tentang penelitian sanad dan matan hadis.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih memerlukan penyempurnaan.
Oleh karenanya, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak kami harapkan
untuk menyempurnakan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk kita semua, amin.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Harsi, Maharsi, Islam Melayu VS
Jawa Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Jamil, Abdul, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta:
GAMA MEDIA, 2000.
Khalim, Samidi, Islam & Spiritualitas Jawa,
Semarang: RaSAIL, 2008.
Kresna Ardian, Mengenal Wayang,
Jogjakarta: laksana, 2012
BIODATA SINGKAT PEMAKALAH
NAMA : MASLIKHATUL UMMAH
NIM : 113511050
JURUSAN/PRODI : TADRIS/TADRIS MATEMATIKA
TTL : SEMARANG, 3
AGUSUTUS 1992
PENDIDIKAN :
-
SD : SDN BATURSARI V
-
SMP : SMPN 9 SEMARANG
-
SMA : SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1
-
S1 : IAIN WALISONGO SEMARANG
ALAMAT : PUCANG JAJAR TIMUR NO 23,
PERUMNAS
PUCANG GADING
NOMOR TELEPON : 081228430013
NAMA : KHOIRUL MILLATI
NIM : 113511071
JURUSAN/PRODI : TADRIS/TADRIS MATEMATIKA
TTL : BATANG, 25
AGUSTUS 1993
PENDIDIKAN :
-
SD : MI THOLABUDDIN
-
SMP : MTs THOLABUDDIN
-
SMA : MA DARUL AMANAH KENDAL
-
S1 : IAIN WALISONGO SEMARANG
ALAMAT : Ds MASIN, KECAMATAN WARUNG
ASEM,
KABUPATEN BATANG
NOMOR TELEPON : 085720520670
EMAIL : min_alfikaromah@yahoo.com
NAMA : SYLVIA NOER ANGGRAENI
NIM : 123511075
JURUSAN/PRODI : TADRIS/TADRIS MATEMATIKA
TTL : GROBOGAN, 20
DESEMBER 1994
PENDIDIKAN :
-
SD : SDN 1 KARANGANYAR
-
SMP : SMPN 1 PURWODADI
-
SMA : SMAN 1 PURWODADI
-
S1 : IAIN WALISONGO SEMARANG
ALAMAT : Ds. KARANGANYAR RT:
01/RW:01, PURWODADI,
GROBOGAN
NOMOR TELEPON : 085740056628
EMAIL :